NARASIOTA.COM: media sosial
Algorithmic Anxiety: Cemas Dikendalikan Sistem

Algorithmic Anxiety: Cemas Dikendalikan Sistem

 


"Algorithmic Anxiety": Kecemasan Tak Terucap karena Dikendalikan oleh Sistem yang Tidak Kita Pahami


Hai, sobat! Pernah nggak sih, kalian merasa... tidak cukup? Scroll Instagram, lihat teman yang liburan ke Eropa, mantan yang karirnya meroket, dan influencer yang pagi-pagi sudah olahraga dengan tubuh sempurna. Lalu, hati kecil kalian berbisik, "Aku kok di sini aja, ya?"


Atau, pernah nggak merasa was-was dan frustasi karena video yang kalian upload dapat views jauh lebih sedikit dari biasanya, meski kontennya sama bagusnya? Atau bingung kenapa feed media sosial kalian tiba-tiba dipenuhi konten sedih dan pesimis, padahal kalian lagi baik-baik saja?


Jika iya, kalian mungkin sedang mengalami "Algorithmic Anxiety" – sebuah bentuk kecemasan modern yang diam-diam dialami oleh banyak orang, tanpa kita sadari sepenuhnya.



Apa Sebenarnya "Algorithmic Anxiety" Ini?


Secara sederhana, Algorithmic Anxiety adalah perasaan cemas, tidak berdaya, dan frustasi yang muncul karena kita merasa hidup, pilihan, dan nasib kita semakin dikendalikan oleh sistem algoritma yang tidak benar-benar kita pahami.


Kita tahu algoritma itu ada. Kita tahu ia memengaruhi apa yang kita lihat, baca, dan beli. Tapi kita tidak tahu persis bagaimana ia bekerja, bagaimana cara "mengakalinya", atau mengapa keputusannya seringkali terasa tidak adil. Ketidakpastian inilah yang melahirkan kecemasan.



"Tuhan" Digital Baru: Bagaimana Algoritma Menciptakan Sangkar yang Nyaman (Tapi Menjebak)?


Bayangkan algoritma seperti seorang "Tuhan" digital yang tak kasat mata. Ia menentukan:


· Apa yang kita lihat di linimasa media sosial.

· Musik apa yang kita dengankan berikutnya.

· Orang seperti apa yang cocok dengan kita di aplikasi kencan.

· Apakah lamaran kerja kita akan dilihat oleh HRD atau tidak.

· Berapa harga tiket pesawat yang kita beli.


Kita menyerahkan begitu banyak keputusan pada sistem ini karena janjinya: efisiensi dan kenyamanan. Tapi, di balik kenyamanan itu, ada mekanisme yang justru memicu kecemasan kita.



Bentuk-Bentuk Kecemasan Algoritmik dalam Keseharian Kita


1. Kecemasan Performa & Validasi (The Performance Anxiety)


Ini yang paling sering kita rasakan. Hidup seolah-olah menjadi sebuah pertunjukan yang dinilai oleh algoritma.


· "Mengapa likes-ku cuma segini? Apa aku tidak populer lagi?"

· "Video ini seharusnya viral, tapi kok views-nya stuck? Apa algoritma lagi tidak mendukung?"

  Kita mulai mengukur nilai diri kita berdasarkan metrik digital(likes, shares, views) yang sepenuhnya dikendalikan oleh logika mesin yang misterius. Ini bikin stres!


2. Kecemasan Ketertinggalan (The FOMO Anxiety)


Algoritma media sosial dirancang untuk menunjukkan hal-hal yang paling "engageable" – yaitu, yang paling spektakuler, sempurna, dan... tidak biasa. Hasilnya?

Kita terus-menerus dibombardir dengan highlight reel kehidupan orang lain:promosi jabatan, pernikahan, kelahiran anak, liburan mewah. Algoritma memperbesar perasaan FOMO (Fear Of Missing Out) kita, membuat kita merasa bahwa hidup kita membosankan dan tertinggal jauh.


3. Kecemasan Ruang Gema & Pemikiran (The Echo Chamber Anxiety)


Pernah nggak merasa bahwa pendapat kalian seolah-olah selalu "benar" karena semua orang di linimasa berpikiran sama? Itulah ruang gema (echo chamber). Algoritma cenderung menunjukkan konten yang sesuai dengan keyakinan dan perilaku kita sebelumnya.

Lama-kelamaan,kita menjadi cemas dan tidak percaya pada sudut pandang yang berbeda. Kita hidup dalam gelembung pemikiran sendiri, dan ketakutan akan perbedaan justru membuat kita makin cemas untuk keluar dari gelembung itu.


4. Kecemasan Ketidakpastian & Ketiadaan Kendali (The Helplessness Anxiety)


Ini adalah akar dari semua kecemasan ini. Kita merasa seperti kelinci percobaan dalam labirin raksasa yang tidak kita pahami aturannya.


· Kenapa aku tiba-tiba di-shadowban?

· Kenapa aku tidak bisa menemukan toko yang kemarin saja masih ada di hasil pencarian?

· Apa yang harus aku lakukan agar algoritma menyukaiku?

  Perasaan bahwa kita tidak memegang kendali atas lingkungan digital kita sendiri adalah sumber stres yang sangat powerful.



Dampaknya: Lelah Mental dan Krisis Identitas


Algorithmic Anxiety bukanlah sekadar perasaan "sedang tidak enak hati". Ia punya dampak nyata:


· Burnout Digital: Lelah secara mental untuk terus "tampil" dan "bersaing" di hadapan algoritma.

· Penurunan Kreativitas: Kita mulai membuat konten bukan karena passion, tapi karena mengejar tren yang disukai algoritma. Hasilnya? Konten yang seragam dan tidak autentik.

· Hubungan Sosial yang Terganggu: Kita membandingkan kehidupan asli kita dengan versi curated kehidupan orang lain, yang bisa memicu iri hati dan menjauhkan kita dari orang-orang terdekat.

· Krisis Identitas: Ketika nilai diri kita ditentukan oleh algoritma, lama-lama kita bisa lupa, siapa sebenarnya diri kita di luar angka-angka dan validasi digital itu.



Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan? Melawan Kecemasan dengan Kesadaran


Kita tidak bisa menghindari algoritma. Tapi, kita bisa mengubah cara kita berinteraksi dengannya.


1. Ambil Kendali dengan Sadar (Curate Your Feed)


Kalian adalah kurator bagi pikiran kalian sendiri.


· Unfollow akun-akun yang membuat kalian merasa tidak cukup.

· Mute kata kunci yang memicu kecemasan.

· Ikuti akun yang mendidik, inspiratif, dan menenangkan.

  Ingat,linimasa kalian adalah real estate mental yang sangat berharga. Jangan biarkan algoritma sembarangan menempatiinya.


2. Pelajari Dasar-Dasar Cara Kerjanya (Demystify the Algorithm)


Rasa takut sering muncul dari ketidaktahuan. Coba cari tahu:


· Bagaimana algoritma Instagram menentukan apa yang kalian lihat?

· Apa itu "shadowban" dan bagaimana menghindarinya?

  Dengan memahami logika dasar,kalian tidak akan lagi merasa seperti korban yang sepenuhnya pasif.


3. Redefine "Kesuksesan" dan "Nilai Diri"


Kembalikan tongkat pengukur kesuksesan kepada diri kalian sendiri.


· Apakah likes lebih penting daripada membuat satu orang tersenyum dengan konten kalian?

· Apakah trending topic lebih berharga daripada ketenangan pikiran?

  Tetapkan tujuan personal yang tidak terkait dengan metrik platform.Nilai diri kalian tidak sama dengan angka di layar.


4. Ciptakan "Zona Bebas Algoritma"


Sengaja menciptakan ruang dan waktu tanpa intervensi algoritma.


· Baca buku fisik, bukan e-book yang merekomendasikan bacaan berikutnya.

· Dengarkan musik dari playlist yang kalian buat sendiri, bukan dari radio algoritmik.

· Ngobrol dengan teman secara langsung, tanpa sibuk memikirkan konten apa yang bisa di-posting dari obrolan tersebut.


5. Ingatkan Diri Sendiri: Kamu Bukan Pengguna, Kamu adalah Produk


Di banyak platform media sosial, kita adalah produk yang dijual kepada pengiklan. Algoritma dirancang untuk membuat kita ketagihan dan terus mengonsumsi, karena itulah yang menguntungkan secara ekonomi. Dengan menyadari posisi kita yang sebenarnya, kita bisa lebih kritis dan tidak terlalu personal ketika berinteraksi dengan platform tersebut.



Kesimpulan: Kita Tidak Harus Menjadi Budak Kode yang Tidak Terlihat


Algorithmic Anxiety adalah respons yang wajar terhadap dunia yang semakin kompleks. Itu adalah tanda bahwa kita masih manusia, yang menginginkan kendali, kejelasan, dan makna.


Dengan menyadari keberadaannya, kita sudah mengambil langkah pertama untuk melawannya. Kita mungkin tidak bisa mematikan algoritma, tapi kita bisa mengatur ulang hubungan kita dengannya.


Mulailah dengan langkah-langkah kecil di atas. Ambil kendali kembali atas perhatian dan pikiran kalian. Karena pada akhirnya, hidup yang paling berarti bukanlah hidup yang divalidasi oleh algoritma, melainkan hidup yang dijalani dengan autentik, sadar, dan penuh koneksi yang nyata.



FAQ Mini: Pertanyaan Seputar Algorithmic Anxiety


1. Apa bedanya Algorithmic Anxiety dengan kecemasan biasa?


Algorithmic Anxiety secara spesifik dipicu oleh interaksi dengan sistem algoritma digital dan perasaan tidak berdaya karenanya. Kecemasan biasa bisa memiliki pemicu yang lebih luas.


2. Apakah ini berarti teknologi itu jahat?


Tidak juga. Teknologi netral. Masalahnya terletak pada desain platform yang seringkali mengorbankan kesejahteraan pengguna untuk engagement dan keuntungan, serta ketidakseimbangan kekuatan antara pengguna dan pengembang.


3. Bagaimana cara menjelaskan perasaan ini kepada orang tua yang mungkin tidak mengerti?


Coba gunakan analogi: "Bayangkan Ibu merasa cemas karena setiap hari hanya melihat berita tentang penipuan dan kecelakaan di TV, dan Ibu tidak bisa mengatur berita apa yang ditayangkan. Itu yang saya rasakan di media sosial."


4. Apakah mengambil jeda dari media sosial (digital detox) membantu?


Sangat membantu! Digital detox adalah cara yang powerful untuk "reset" pola pikir dan mengingatkan diri tentang kehidupan di luar layar.


5. Bisakah algoritma ini justru digunakan untuk hal yang baik?


Tentu! Misalnya, algoritma bisa merekomendasikan konten kesehatan mental, kursus online yang bermanfaat, atau komunitas yang supportive. Kuncinya adalah kita yang aktif memilih dan mengarahkannya.


6. Saya seorang konten kreator, apakah wajar jika saya merasa cemas seperti ini?


Sangat wajar. Bagi kreator, algoritma langsung memengaruhi mata pencaharian. Penting untuk memiliki komunitas sesama kreator untuk berbagi cerita dan menyadari bahwa kamu tidak sendirian.

FOMO vs JOMO: Perang Psikologis di Era Informasi

FOMO vs JOMO: Perang Psikologis di Era Informasi

 


FOMO vs JOMO (Joy of Missing Out): Perang Psikologis di Era Informasi Berlebihan


Hai, sobat! Coba kita ngobrol sebentar, nih. Pernah nggak sih, kalian lagi asyik-asyiknya rebahan di rumah, tiba-tiba buka Instagram dan melihat teman kalian lagi liburan di Bali, yang lain lagi menghadiri konser musik seru, atau yang lainnya baru saja mendapat promosi kerja? Lalu, perasaan tenang kalian tiba-tiba hilang, digantikan oleh rasa cemas, iri, dan merasa ketinggalan zaman. "Ah, kenapa hidup mereka keren-keren banget, ya? Hidup gue datar aja."


Nah, jika kalian pernah merasakan hal itu, selamat datang di klub FOMO! Tapi jangan khawatir, artikel ini akan membahas sahabat baru kalian yang lebih keren: JOMO. Kita akan bahas tuntas perang psikologis antara FOMO vs JOMO di era di mana informasi membanjiri kita setiap detiknya.



Apa Itu FOMO? Si Biang Kerok Kegelisahan Modern


FOMO, atau Fear of Missing Out, adalah perasaan cemas dan takut bahwa orang lain sedang mengalami hal-hal menyenangkan, seru, atau penting tanpa kehadiran kita. Ini seperti alarm internal yang terus berteriak, "Ayo, keluar! Lakukan sesuatu! Jangan sampai ketinggalan!"


Akar masalahnya ada di genggaman kita: smartphone dan media sosial. Coba bayangkan, dulu sebelum ada Instagram atau TikTok, kita hanya tahu kabar teman-teman dekat atau tetangga. Sekarang, kita bisa melihat langsung bagaimana orang di seluruh dunia—bahkan yang tidak kita kenal—menjalani hidup mereka yang terlihat sempurna. Otak kita tidak dirancang untuk menangani begitu banyak "kehidupan orang lain" dalam satu hari.


Tanda-tanda kalian kena FOMO:


· Selalu mengecek notifikasi media sosial setiap beberapa menit.

· Merasa gelisah dan tidak puas dengan aktivitas yang sedang dilakukan.

· Sulit berkata "tidak" pada ajakan karena takut dianggap tidak gaul.

· Merasa hidup orang lain selalu lebih baik dari hidup sendiri.

· Liburan atau makan di restoran terasa kurang jika tidak diposting di media sosial.


Kalau dibiarkan, FOMO bisa bikin stres, burnout, dan merasa tidak pernah cukup dengan apa yang kita miliki. Lalu, adakah obatnya?


JOMO Datang sebagai Pahlawan: Joy of Missing Out


Nah, ini dia sang penawar racun: JOMO, atau Joy of Missing Out. Kalau FOMO adalah rasa takut ketinggalan, JOMO adalah kebahagiaan karena dengan sengaja memilih untuk "ketinggalan".


Bukan berarti kita menjadi penyendiri yang anti-sosial, lho! JOMO adalah tentang kesadaran dan pilihan. Kita sadar bahwa ada banyak acara seru di luar sana, tetapi kita dengan sengaja memilih untuk menikmati momen yang sedang kita jalani saat ini. Entah itu membaca buku, memasak makan malam, berkebun, atau sekadar ngobrol santai dengan keluarga.


JOMO adalah seni berkata "tidak" pada hal-hal yang tidak sejalan dengan energi dan prioritas kita, sehingga kita bisa berkata "ya" pada hal-hal yang benar-benar penting bagi kita.


Manfaat menjalani JOMO:


· Ketenangan Pikiran: Tidak lagi terobsesi dengan kehidupan orang lain.

· Waktu Berkualitas: Fokus pada hobi dan hubungan yang benar-benar berarti.

· Lebih Produktif: Energi tidak terkuras untuk membanding-bandingkan diri.

· Rasa Syukur: Belajar menghargai hal-hal kecil dalam hidup sendiri.


Lalu, Gimana Sih Cara Menaklukkan FOMO dan Menemukan JOMO?


Ini bukan tentang menghapus semua media sosial, tapi tentang mengubah hubungan kita dengannya. Yuk, praktikkan langkah-langkah berikut!


1. Lakukan "Digital Detox" yang Masuk Akal


Kalian tidak perlu langsung hilang dari dunia online selama sebulan. Coba mulai dengan hal kecil:


· Matikan notifikasi media sosial di luar jam kerja.

· Tentukan "zaman bebas gadget", misalnya 1 jam sebelum tidur dan 1 jam setelah bangun tidur.

· Hapus aplikasi media sosial dari HP untuk akhir pekan, dan akses hanya lewat laptop jika sangat perlu.


2. Berlatih Mindfulness dan Hidup di "Saat Ini"


FOMO seringkali membawa kita ke masa depan yang penuh kecemasan ("Apa yang akan aku lewatkan nanti?") atau masa lalu yang penuh penyesalan ("Kenapa aku nggak ikut kemarin?"). Cobalah untuk fokus pada saat ini.


· Saat makan, nikmati benar rasa makanannya.

· Saat jalan-jalan, perhatikan sekeliling, dengarkan kicauan burung, rasakan angin.

· Meditasi 5-10 menit per hari bisa sangat membantu melatih perhatian penuh.


3. Kurangi "Following", Tingkatkan "Connecting"


Bersihkan feed media sosial kalian! Unfollow atau mute akun-akun yang membuat kalian merasa tidak cukup. Sebaliknya, ikuti akun-akun yang menginspirasi, mendidik, atau menghibur tanpa memicu perbandingan sosial. Dan yang terpenting, alihkan energi dari scrolling pasif ke hubungan aktif. Telepon seorang teman lama, ajak keluarga ngobrol, atau bertemu langsung dengan sahabat. Koneksi nyata jauh lebih memuaskan daripada ratusan like.


4. Temukan Passion dan Hobi yang Membuat Kalian "Lupa Waktu"


Aktivitas yang benar-benar kita cintai akan membuat kita lupa untuk mengecek HP. Apakah itu melukis, bermain musik, olahraga, menulis, atau merakit model kit? Saat kita tenggelam dalam kesenangan ini, kita sedang mengalami JOMO—kita bahagia "melewatkan" keramaian karena sedang asyik dengan dunia kita sendiri.


5. Ubah Pola Pikir: Dari "Harus" Menjadi "Ingin"


Coba perhatikan kalimat dalam pikiran kalian.


· FOMO: "Aku harus ikut nongkrong malam ini, biar nggak dikira jutek."

· JOMO: "Aku ingin istirahat di rumah malam ini karena tubuhku butuh pemulihan."

  Dengan beralih dari kewajiban(have to) ke keinginan (want to), kita mengambil kendali atas hidup kita sendiri.


Masalah Umum dalam Perang Melawan FOMO dan Solusinya


· Masalah: "Tapi, aku takut dikucilkan atau dianggap tidak sosial jika sering menolak ajakan."

  · Solusi: Komunikasikan dengan jujur. Katakan, "Wah, lagi butuh me-time nih, lain kali aja kita jalan yang seru!" Teman yang baik akan mengerti. Justru dengan hadir dalam keadaan segar dan bahagia, kualitas pertemanan akan lebih baik.

· Masalah: "Aku kerja di bidang yang mengharuskan aktif di media sosial. Gimana dong?"

  · Solusi: Buat batasan yang jelas. Pisahkan akun profesional dan pribadi. Gunakan aplikasi scheduler untuk posting konten kerja, sehingga kalian tidak perlu terus-menerus membuka aplikasinya. Setelah jam kerja, log out dari akun profesional tersebut.

· Masalah: "Aku sudah coba detox, tapi selalu kembali lagi karena merasa bosan."

  · Solusi: Itu wajar! Jangan menyiksa diri. JOMO bukan tentang menghilangkan media sosial sama sekali, tapi menemukan keseimbangan. Jika bosan, cari aktivitas offline yang menyenangkan sebagai pengganti, seperti menonton film atau merapikan kamar.


Penutup: JOMO adalah Kunci Hidup yang Lebih Otentik dan Bahagia


Jadi, teman-teman, perang antara FOMO dan JOMO ini sebenarnya adalah perang untuk mengambil alih kendali atas perhatian dan kebahagiaan kita. Di dunia yang sibuk berteriak, JOMO adalah suara lembut yang mengajak kita untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan mensyukuri momen yang kita miliki saat ini.


Hidup bukanlah tentang mengalami semua hal, tapi tentang mengalami hal-hal yang benar-benar berarti bagi kita. Dengan mempraktikkan JOMO, kita bukan melewatkan kesempatan, tapi justru menemukan kesempatan untuk hidup yang lebih dalam, tenang, dan otentik.


Yuk, mulai sekarang, coba pilih JOMO. Rasakan bedanya!


---


FAQ Mini: FOMO vs JOMO


1. Apa perbedaan utama FOMO dan JOMO?

FOMO didorong oleh rasa takut dan kecemasan,sementara JOMO didorong oleh kesadaran dan pilihan untuk bahagia dengan momen saat ini.


2. Apakah JOMO membuatku menjadi orang yang tertutup?

Sama sekali tidak!JOMO justru mendorong koneksi yang lebih dalam dan berkualitas dengan orang-orang terdekat, alih-alih sekadar mengikuti banyak acara tanpa makna.


3. Bagaimana cara menjelaskan konsep JOMO kepada keluarga atau teman?

Katakan bahwa kamu sedang belajar untuk lebih hadir dan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting bagimu,sehingga kamu bisa menjadi versi dirimu yang lebih baik untuk mereka.


4. Apakah harus menghapus media sosial untuk mencapai JOMO?

Tidak harus.Kuncinya adalah menggunakannya dengan sadar dan membatasi waktu penggunaannya, bukan menghilangkannya sama sekali.


5. Bisakah JOMO membantuku mengatasi kecemasan sosial?

Bisa sekali.Dengan mengurangi tekanan untuk selalu "tampil" dan ikut dalam keramaian, JOMO dapat meredakan kecemasan sosial dan membantumu merasa lebih nyaman dengan dirimu sendiri.


6. Bagaimana jika aku merasa kesepian saat mempraktikkan JOMO?

Itu adalah tanda bahwa mungkin kamu butuh lebih banyak koneksi yang berkualitas.JOMO bukan tentang menyendiri, tapi tentang memilih hubungan yang mendalam. Coba hubungi satu atau dua orang teman dekat untuk ngobrol atau bertemu.

Konten Aesthetic Picu Kecemasan? Ini Solusinya!

Konten Aesthetic Picu Kecemasan? Ini Solusinya!

 


Buat Kalian yang Sering Scroll Konten Aesthetic dan Tiba-tiba Merasa Hidupmu Berantakan...


Hai, sobat! Coba jujur, berapa lama kalian habiskan waktu untuk scroll-scroll feed Instagram atau TikTok yang isinya penuh dengan gambar-gambar aesthetic? Mulai dari kamar tidur minimalis ala Korea, workstation rapi dengan tanaman hias, outfit yang selalu matching, sampai hidangan sarapan yang fotogenik banget. Wah, lihat-lihat konten seperti itu memang bikin mata segar dan hati adem, ya?


Tapi, pernah nggak sih, di balik rasa kagum itu, tiba-tiba muncul perasaan lain? Seperti rasa iri diam-diam, minder, atau pertanyaan dalam hati, "Kok hidup mereka sempurna banget, ya? Sementara hidupku... begini-begini aja."


Nah, artikel ini hadir buat ngobrolin hal itu. Kita akan bahas sisi lain dari tren aesthetic yang mungkin jarang disadari: kenapa konten yang seharusnya "indah" itu justru bisa bikin kita cemas dan merasa nggak pernah cukup. Tenang, bahasanya akan santai dan mudah dicerna, kok!



Beberapa Pertanyaan yang Sering Muncul:


· Apa itu konten aesthetic?

· Mengapa konten aesthetic bikin insecure?

· Bagaimana cara menghadapi tekanan dari media sosial?

· Dampak buruk konten aesthetic bagi mental health.

· Tips agar tidak terbebani konten aesthetic.


---


Apa Sih Sebenarnya yang Dimaksud dengan "Aesthetic" di Media Sosial?


Sebelum kita selam lebih dalam, mari kita sepakati dulu apa itu "aesthetic" dalam konteks media sosial. Aesthetic di sini bukan sekadar cantik atau indah. Ia adalah sebuah gaya visual yang dikurasi dengan sangat teliti. Semuanya serba terencana, serba konsisten, dan punya tema tertentu. Warna-warna yang dipilih cohesive, sudut pengambilan gambar sempurna, dan tidak ada satu pun elemen yang "keluar jalur".


Intinya, aesthetic adalah presentasi kehidupan yang sudah melalui proses penyuntingan ketat. Ia adalah highlight reel, bukan behind the scenes.


Dari Penyemangat Jadi Pemicu Stres: Alasan Konten Aesthetic Bisa Bikin Galau


Loh, kok bisa sesuatu yang indah justru berdampak buruk? Ini dia penjelasannya:


1. Menciptakan Standar "Kesempurnaan" yang Tidak Realistis


Bayangkan, kita setiap hari disuguhi gambar kamar yang selalu rapi, wajah yang selalu flawless tanpa bekas jerawat, dan kehidupan yang seolah-olah bebas dari masalah. Otak kita lama-lama akan menganggap bahwa itulah "normalitas" yang seharusnya. Padahal, kenyataannya? Kamar kita bisa berantakan, jerawat bisa datang tiba-tiba, dan hari-hari kita penuh dengan drama kecil yang nggak fotogenik. Ketika realita tidak sesuai dengan ekspektasi yang ditanamkan media sosial, muncullah rasa gagal dan tidak cukup.


2. Memicu Perbandingan Sosial yang Beracun (Social Comparison)


Manusiawi sekali jika kita membandingkan diri dengan orang lain. Media sosial, sayangnya, menjadi panggung perbandingan yang sangat tidak sehat. Kita membandingkan "babak belur"-nya kehidupan kita dengan "highlight reel"-nya orang lain. Kita melihat kesuksesan, kecantikan, dan kebahagiaan orang lain, lalu bertanya pada diri sendiri, "Apa yang salah dengan aku?" Perasaan ini, jika dibiarkan, bisa berkembang menjadi kecemasan sosial dan harga diri yang rendah.


3. Ilusi Kontrol yang Berlebihan


Konten aesthetic seringkali menjual narasi bahwa hidup yang baik adalah hidup yang terkendali penuh. Segala sesuatu harus pada tempatnya, terencana, dan rapi. Narasi ini membuat kita merasa bahwa kegagalan, kekacauan, dan hal-hal tak terduga adalah sesuatu yang harus dihindari atau bahkan sebuah aib. Padahal, hidup memang pada dasarnya tidak pasti dan nggak selalu bisa kita kontrol. Tekanan untuk mengontrol segalanya inilah yang akhirnya memicu stres dan kecemasan.


4. FOMO (Fear Of Missing Out) yang Kian Menjadi


Lihat teman traveling ke Eropa dengan aesthetic yang oke, lihat influencer mencoba resto kekinian, lihat kolega mencapai pencapaian karier. Konten aesthetic memperkuat perasaan FOMO. Kita takut ketinggalan tren, takut tidak se-"keren" mereka, dan akhirnya memaksakan diri untuk mengikuti standar yang sebenarnya bukan keinginan kita sendiri. Ujung-ujungnya, dombel jebol, hati pun tetap galau.


5. Mengikis Rasa Syukur dan Kepuasan atas Hidup Sendiri


Ketika mata kita terus-terusan terpaku pada kehidupan "sempurna" orang lain, kita menjadi lupa untuk melihat ke bawah dan bersyukur atas apa yang sudah kita miliki. Kita jadi fokus pada kekurangan kita, pada apa yang belum kita capai, dan pada hal-hal material yang belum kita punya. Rasa syukur pun tergerus, digantikan oleh rasa lapar yang tak pernah terpuaskan.


Lalu, Gimana Dong Cara Mengatasinya? Agar Kita Bisa Nikmati Konten Aesthetic Tanpa Tertekan


Jangan khawatir, kita nggak perlu langsung delete semua akun media sosial atau menghilangkan konten aesthetic dari hidup. Yang perlu kita lakukan adalah mengubah cara kita berinteraksi dengannya.


1. Ingatlah: Yang Kamu Lihat Bukanlah Keseluruhan Cerita


Ini adalah mantra yang harus sering diulang-ulang. Setiap kali kamu melihat konten yang sempurna, katakan pada dirimu sendiri, "Ini hanya satu sudut pandang. Ini hanya satu momen. Aku tidak tahu keseluruhan cerita di baliknya." Setiap orang punya masalahnya masing-masing, hanya saja mereka memilih untuk tidak menampilkannya.


2. Curate Your Feed dengan Sadar!


Kamu adalah raja dari feed media sosialmu. Jika ada akun yang terus-menerus membuatmu merasa tidak percaya diri, minder, atau cemas, jangan ragu untuk unfollow atau mute. Itu bukan hal yang kasar, itu adalah bentuk pertahanan diri. Isi feed-mu dengan akun-akun yang beragam, yang menampilkan kehidupan nyata, kegagalan, dan proses, bukan hanya kesuksesan semata.


3. Fokus pada Perjalananmu Sendiri, Bukan Pencapaian Orang Lain


Alih-alih membandingkan dirimu dengan orang lain, cobalah untuk membandingkan dirimu dengan dirimu yang kemarin. Apakah hari ini kamu sudah lebih baik? Apakah ada progress kecil yang bisa disyukuri? Dengan fokus pada perjalanan pribadi, kita akan lebih menghargai proses dan mengurangi tekanan untuk menjadi seperti orang lain.


4. Touch Grass: Jangan Lupa dengan Dunia Nyata


Istilah "touch grass" sering dipakai untuk mengingatkan orang agar keluar dari dunia online dan menyentuh rumput (alias kembali ke kehidupan nyata). Luangkan waktu untuk bertemu teman secara langsung, menikmati alam, atau melakukan hobi yang membuatmu lupa untuk membuka ponsel. Koneksi dan pengalaman nyata adalah penawar paling ampuh untuk kecemasan yang dipicu media sosial.


5. Kembangkan Aesthetic-mu Sendiri yang Autentik


Aesthetic itu seharusnya personal dan mencerminkan jati dirimu, bukan sekadar mengekor tren. Apa yang membuatmu merasa nyaman dan bahagia? Mungkin kamarmu berantakan tapi penuh dengan buku-buku yang kamu cintai, atau mungkin masakanmu nggak semewah di Instagram tapi rasanya enak dan penuh cerita. Keautentikan itu justru yang membuat hidup lebih berwarna dan bermakna.


Masalah Umum & Solusinya Terkait Tekanan Media Sosial


· Masalah: "Aku tahu teorinya, tapi tetap saja merasa insecure saat melihat konten teman yang sukses."

  · Solusi: Itu sangat manusiawi! Coba batasi waktu pakai media sosial. Gunakan app timer dan ketika perasaan itu datang, akui saja, "Oke, aku lagi merasa insecure nih." Dengan mengakui perasaan tanpa menghakimi diri, kita bisa lebih mudah melepaskannya.

· Masalah: "Aku takut ketinggalan informasi atau dikucilkan jika tidak mengikuti tren."

  · Solusi: Coba tanya, informasi apa yang benar-benar penting buatmu? Seringkali, informasi penting akan sampai juga lewat jalur lain. Untuk urusan tren, pilih satu atau dua yang benar-benar kamu minati, abaikan yang lain.

· Masalah: "Aku justru merasa terinspirasi oleh konten aesthetic."

  · Solusi: Itu bagus! Bedakan antara terinspirasi dan merasa tertekan. Jika sebuah konten memberimu energi positif dan ide untuk memperbaiki hidupmu dengan caramu sendiri, itu adalah inspirasi. Jika ia membuatmu merasa buruk tentang dirimu sendiri, itu adalah tekanan.


Penutup: Hidupmu Sudah Cukup Berharga, dengan atau tanpa Filter


Sobat, pada akhirnya, konten aesthetic hanyalah sebuah ilusi yang dikemas dengan apik. Kehidupan yang sesungguhnya—dengan segala kekacauan, tawa spontan, air mata, dan momen-momen yang tidak terencana—justru itulah yang paling indah dan autentik.


Kita tidak perlu hidup dalam kurasi orang lain untuk merasa cukup. Cukup itu adalah keputusan, bukan pencapaian. Mulai hari ini, cobalah untuk lebih berbaik hati pada dirimu sendiri. Syukuri perjalanan unikmu, dan ingatlah bahwa nilai dirimu tidak ditentukan oleh jumlah like atau seberapa sempurna feed-mu.


Yuk, kita belajar untuk menjadi penikmat konten yang cerdas, bukan korban dari algoritma!


---


FAQ Mini: Pertanyaan Seputar Konten Aesthetic & Mental Health


1. Apa bedanya terinspirasi dan merasa insecure karena konten aesthetic?

Inspirasi memberi energi dan motivasi untuk tumbuh dengan caramu.Perasaan insecure, sebaliknya, membuatmu merasa kecil dan tidak puas dengan dirimu sendiri.


2. Apakah salah membuat konten yang aesthetic?

Sama sekali tidak!Asalkan kita tetap autentik dan menyadari bahwa yang kita tampilkan hanya sebagian kecil dari kehidupan. Jangan sampai kita sendiri terjebak dalam ilusi yang kita ciptakan.


3. Bagaimana cara menjelaskan dampak buruk ini kepada teman yang kecanduan media sosial?

Dekati dengan kasih sayang.Ceritakan pengalamanmu sendiri tanpa menggurui. Katakan bahwa kamu peduli dan khawatir melihatnya terus-menerus membandingkan dirinya dengan orang lain.


4. Platform media sosial mana yang paling berpengaruh?

Semua platform punya potensi yang sama,tergantung bagaimana kita menggunakannya. Instagram dan TikTok yang sangat visual seringkali menjadi pemicu utama, tetapi di sisi lain juga bisa menjadi sumber inspirasi jika kita bijak memilih akun yang diikuti.


5. Apakah perlu melakukan digital detox?

Sangat disarankan!Cobalah untuk mengambil jeda dari media sosial, misalnya satu hari dalam seminggu atau hanya beberapa jam dalam sehari. Rasakan perbedaannya pada kesehatan mentalmu.


6. Aku merasa sendiri karena hidupku tidak se-"instagenic" orang lain.

Kamu tidak sendiri!Banyak sekali orang yang merasakan hal yang sama tetapi diam-diam saja. Cobalah mencari komunitas atau teman yang bisa diajak berbagi cerita nyata. Kamu akan menyadari bahwa "ketidaksempurnaan"-mu justru adalah hal yang membuatmu manusiawi dan relatable.


7. Apakah ada akun yang direkomendasikan untuk kesehatan mental?

Ada banyak akun psikolog atau edukator kesehatan mental Indonesia yang bagus di Instagram,seperti @ibukesehatanmental, @psikologis, atau @mentalkesehatan. Mereka sering membahas topik-topik seperti ini dengan bahasa yang mudah dipahami.

Formulir Kontak