NARASIOTA.COM: kesehatan digital
Algorithmic Anger: Kenapa Media Sosial Picu Amarah?

Algorithmic Anger: Kenapa Media Sosial Picu Amarah?

Algorithmic Anger: Mengapa Media Sosial Secara Sistemik Mengamplifikasi Kemarahan dan Kontroversi?


Hai, sobat! Coba kalian ingat-ingat lagi isi feed media sosial kalian hari ini. Berapa banyak konten yang bikin kalian senyum-senyum sendiri, dan berapa banyak yang bikin geleng-geleng, kesal, atau bahkan marah?


Mulai dari cuitan politikus yang memantik debat, video yang menyudutkan suatu kelompok, hingga thread Twitter yang penuh dengan caci maki. Terkadang, kita sampai penasaran: "Kenapa sih, dunia di media sosial terasa lebih panas dan bermusuhan daripada dunia nyata?"


Jawabannya mungkin tidak terletak pada sifat dasar manusia, tetapi pada sistem yang dirancang untuk menguntungkan amarah kita. Inilah yang disebut Algorithmic Anger—fenomena di mana algoritma media sosial secara sistematis dan tidak terelakkan mendorong konten yang memicu kemarahan dan kontroversi.



Bayangkan Algoritma Seperti "Editor Naga" yang Haus Perhatian


Bayangkan algoritma adalah seorang editor di surat kabar. Tapi, editor ini tidak punya prinsip jurnalistik. Satu-satunya tujuan dia adalah membuat kalian sebisa mungkin membuka halaman berikutnya dan berlama-lama di korannya. Editor mana yang akan dia pilih untuk halaman depan?


· Headline A: "Studi: Banyak Warga Menikmati Taman Kota yang Baru"

· Headline B: "WAKIL GUBERNUR BILANG TAMAN KOTA ITU PEMBOROSAN! WARTAWAN INI BONGKAR FAKTANYA!"


Headline B yang akan dipilih. Dan itulah yang dilakukan algoritma media sosial setiap detik, miliaran kali, kepada miliaran pengguna.



Mekanisme di Balik Layar: Bagaimana Algoritma Memaneni Kemarahan


Berikut adalah cara-cara sistematis yang dilakukan platform media sosial (seringkali tanpa disadari oleh pembuatnya sendiri) untuk mengamplifikasi amarah:


1. Kemarahan = Engagement yang Tinggi


Ini adalah hukum dasar algorithmic anger. Konten yang memicu emosi kuat—terutama kemarahan dan rasa jijik—mendapatkan:


· Komentar yang lebih banyak (untuk membantah atau menyetujui)

· Share/retweet yang lebih tinggi (untuk menunjukkan betapa "salahnya" pendapat itu)

· Waktu tinggal yang lebih lama (karena kita scroll komentar untuk melihat perdebatan)


Bagi algoritma, semua metrik ini adalah engagement. Dan engagement adalah uang. Jadi, secara tidak langsung, kemarahan kita menguntungkan secara finansial bagi platform.


2. Ruang Gema (Echo Chambers) dan Ruang Amarah (Outrage Chambers)


Algoritma dirancang untuk menunjukkan apa yang kita sukai dan setujui. Lama-kelamaan, kita terjebak dalam "ruang gema" di mana pendapat kita sendiri dipantulkan kembali.

Namun,yang lebih berbahaya adalah "ruang amarah." Algoritma cepat belajar bahwa kita mudah marah pada kelompok atau pendapat tertentu. Maka, ia akan terus menyodorkan konten tentang kelompok itu, seringkali dalam cahaya yang paling negatif, untuk memancing reaksi emosional kita yang konsisten. Kita diajak marah pada musuh yang sama, berulang-ulang.


3. Nuansa Hilang, yang Ada Hanya Hitam dan Putih


Media sosial tidak dirancang untuk diskusi yang rumit dan penuh nuansa. Ruang yang terbatas (seperti di Twitter) dan format yang mengandalkan visual (seperti di Instagram) mendorong penyederhanaan yang ekstrem.

Masalah kompleks direduksi menjadi"kita vs mereka," "baik vs jahat." Pendapat yang berbeda bukan lagi sekadar perbedaan sudut pandang, tapi dianggap sebagai ancaman moral yang harus dilawan. Ini memicu kemarahan yang lebih dalam dan lebih personal.


4. Kecepatan dan FOMO (Fear Of Missing Out)


Di media sosial, segala sesuatu terjadi dengan kecepatan cahaya. Tren dan kontroversi baru muncul setiap jam. Ini menciptakan tekanan untuk langsung bereaksi, tanpa waktu untuk verifikasi atau refleksi. Kemarahan seringkali adalah reaksi yang paling cepat dan paling mudah dikeluarkan. Kita takut ketinggalan untuk menyuarakan "kemarahan bersama" dalam sebuah tren viral.



Dampaknya: Dunia yang Terfragmentasi dan Lelah Mental


Algorithmic anger bukanlah masalah kecil. Dampaknya nyata dalam kehidupan kita:


· Polarisasi Masyarakat: Kita semakin sulit memahami dan berempati pada orang yang berbeda pendapat. Di dunia nyata, mereka mungkin tetangga yang baik, tapi di media sosial, mereka adalah "musuh."

· Kelelahan Mental (Digital Burnout): Terus-menerus dikelilingi oleh amarah dan kontroversi membuat kita lelah secara mental, cemas, dan sinis.

· Diskusi Publik yang Mandul: Percakapan sehat menjadi mustahil. Alih-alih berdebat dengan fakta, kita berdebat dengan emosi. Yang menang bukan yang paling logis, tapi yang paling lantang atau paling viral.

· Krisis Narasi Bersama: Kita kehilangan kemampuan untuk menyepakati fakta dasar dan membangun cerita bersama sebagai sebuah masyarakat. Masing-masing kelompok punya "fakta" dan "musuh" sendiri-sendiri.



Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan? Melawan Arus dengan Kesadaran


Kita tidak bisa mengubah algoritma, tapi kita bisa mengubah cara kita berinteraksi dengannya.


1. Jadi Kurator bagi Feed Sendiri


Kalian adalah penjaga gawang bagi pikiran kalian sendiri.


· Suka-suka dengan bijak. Jangan beri engagement pada konten yang cuma membuat kalian marah.

· Mute dan unfollow akun yang sumbernya cuma menyebar kebencian dan kemarahan.

· Ikuti akun yang mendorong diskusi sehat dan menawarkan perspektif berbeda dengan cara yang santun.


2. Perlambat Diri, Jangan Bereaksi Segera


Ketika melihat konten yang memancing amarah, jangan langsung komen atau share. Tarik napas. Tanyakan pada diri sendiri:


· "Apa tujuanku membagikan ini? Untuk mendidik atau untuk ikut marah?"

· "Apakah informasi ini sudah pasti benar?"

· "Apakah reaksiku sebanding dengan masalahnya?"


3. Cari Nuansanya Kembali


Ingatlah bahwa dunia ini jarang hitam-putih. Sebelum menyimpulkan suatu kelompok, coba cari tiga orang dari kelompok tersebut yang kalian hormati dan dengarkan pendapat mereka. Pecahkan stereotype yang dibangun oleh algoritma.


4. Kembali ke Dunia Nyata


Bertemulah dengan manusia secara langsung. Ngobrol dengan teman yang berbeda pandangan politiknya. Diskusi di warung kopi. Kalian akan menyadari bahwa kompleksitas dan nuansa jauh lebih terasa di dunia nyata, dan kemarahan lebih mudah mereda ketika kita berhadapan dengan manusia yang utuh, bukan sekadar avatar di layar.



Kesimpulan: Kemarahan Kita Adalah Komoditas Mereka


Algorithmic anger adalah fitur, bukan bug, dari model bisnis media sosial saat ini. Kemarahan, kebingungan, dan kontroversi adalah bahan bakar yang menggerakkan mesin engagement.


Dengan menyadari mekanisme ini, kita bisa mengambil kembali kendali. Kita bisa menolak untuk menjadi mesin penghasil emosi yang menguntungkan platform. Kita bisa memilih untuk tidak membiarkan sistem yang tidak memihak itu meracuni pikiran dan memecah-belah hubungan kita.


Mari kita gunakan media sosial sebagai alat, bukan menjadi alatnya media sosial. Karena percakapan yang sehat dan masyarakat yang utuh dimulai dari kita yang memilih untuk tidak marah atas perintah algoritma.



FAQ Mini: Pertanyaan Seputar Algorithmic Anger


1. Apakah platform media sosial sengaja mendesain algoritma untuk membuat kita marah?


Tidak sepenuhnya sengaja dalam arti jahat. Mereka mendesain algoritma untuk memaksimalkan engagement. Dan karena kemarahan adalah emosi yang powerful untuk mendorong engagement, algoritma secara tidak langsung belajar untuk memprioritaskannya.


2. Platform mana yang paling buruk dalam hal ini?


Platform yang berbasis pada konten real-time dan diskusi publik (seperti Twitter/X) seringkali menjadi episentrum algorithmic anger. Namun, platform seperti Facebook dan Instagram juga tidak luput, terutama di kolom komentar dan Reels.


3. Bagaimana cara membedakan kemarahan yang wajar dan yang dipicu algoritma?


Kemarahan yang wajar biasanya spesifik, proporsional, dan mendorong pada tindakan atau solusi konstruktif. Kemarahan algoritmik seringkali terasa generik, berulang, dan membuat kita merasa tidak berdaya atau sinis. Fokusnya pada "musuh" yang abstrak.


4. Apakah mematikan notifikasi bisa membantu?


Sangat membantu! Mematikan notifikasi adalah langkah pertama untuk memutus siklus reaktif. Ini memberi kita ruang untuk memilih kapan akan mengunjungi platform, bukan diperintah oleh notifikasi.


5. Sebagai konten kreator, apakah saya harus ikut membuat konten yang provokatif?


Tidak harus. Ada audiens yang besar untuk konten yang menenangkan, mendidik, dan konstruktif. Membangun komunitas berdasarkan nilai-nilai positif mungkin tidak akan viral secepat konten kontroversial, tapi akan menciptakan basis penggemar yang lebih loyal dan sehat.

Formulir Kontak